Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu

Jl. Pembangunan No. 6 Padang Harapan , Bengkulu 38225 Telpon (0736) 21961 Fax. (0736) 22506

UU Pajak Bumi dan Bangunan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 (UU No. 12 Tahun 1985)

Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :

1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
3. Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti;
4. Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
5. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada Wajib Pajak.

Penjelasan Pasal 1

Angka 1

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.

Angka 2

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
jalan TOL;
kolam renang;
pagar mewah;
tempat olah raga;
galangan kapal, dermaga;
taman mewah;
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Angka 3

Yang dimaksud dengan :

Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Cukup jelas.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
(2) Klasifikasi objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

1. letak;
2. peruntukan;
3. pemanfaatan;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

1. bahan yang digunakan;
2. rekayasa;
3. letak;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

Pasal 3 (UU No. 12 Tahun 1994)

(1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(2) Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 3

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Contoh :

pesantren atau sejenis dengan itu;
madrasah;
tanah wakaf;
rumah sakit umum.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan objek pajak dalam ayat ini adalah objek pajak yang dimiliki/ dikuasai/ digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.

Ayat (3)

Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.

Contoh :

1. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai sebagai berikut:
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp3.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp8.000.000,00
Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut :

a. Desa A
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp  8.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp  5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp  8.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp  5.000.000,00 (+)
Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp13.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp  8.000.000,00 (-)
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
Rp  5.000.000,00
b. Desa B
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp3.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp3.000.000,00 (+)
Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp8.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp              0,00 (-)
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
Rp8.000.000,00
Untuk Objek Pajak di Desa B, tidak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah), karena Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak telah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di Desa A.
3. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan pada satu Desa C dengan nilai sebagai berikut :

a. Objek I
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp4.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp2.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp4.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp2.000.000,00 (+)
Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp6.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp8.000.000,00
Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Objek II
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp4.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp1.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp4.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp1.000.000,00 (+)
Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp              0,00 (-)
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
Rp5.000.000,00

Ayat (4)

Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum objek pajak setiap tahunnya.

BAB III
SUBJEK PAJAK

Pasal 4 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.
(3) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai Wajib Pajak.
(4) Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud.
(5) Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
(7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

Penjelasan Pasal 4

Ayat (1)

Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan subjek pajak sebagai Wajib Pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas Wajib Pajaknya.

Contoh:

1. Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak.

Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak.

BAB IV
TARIF PAJAK

Pasal 5 (UU No. 12 Tahun 1985)

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).

Penjelasan Pasal 5

Cukup jelas.

BAB V
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK

Pasal 6 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak.
(2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
(3) Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari nilai jual objek pajak.
(4) Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Penjelasan Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.

Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.

Ayat (3)

Yang dimaksud Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.

Contoh:

1. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp1.000.000,00

Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak

20% x Rp1.000.000,00 = Rp200.000,00

2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp1.000.000,00

Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 50% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak

50% x Rp1.000.000,00 = Rp500.000,00

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 7 (UU No. 12 Tahun 1985)

Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 7

Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan batas nilai jual bangunan tidak kena pajak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Contoh :

Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa :
Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000/m2;
Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000/m2;
Taman mewah seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000/m2;
Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000/m2;

Persentase nilai jual kena pajak misalnya 20%.

Besarnya pajak yang terhutang adalah sebagai berikut :

1. Nilai jual tanah : 800 x Rp300.000,00 = Rp240.000.000,00
nilai jual bangunan :
a. Rumah dan garasi

400 x Rp350.000,00

= Rp140.000.000,00
b. Taman Mewah

200 x Rp50.000,00

= Rp  10.000.000,00
c. Pagar mewah

(120 x 1,5) x Rp175.000,00

= Rp  31.500.000,00 (+)
Rp181.500.000,00
Batas nilai jual bangunan

tidak kena pajak

= Rp    2.000.000,00 (-)
Nilai jual bangunan = Rp179.500.000,00 (+)
Nilai jual tanah dan bangunan = Rp419.500.000,00

2. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang :
a. Atas tanah = 0,5% x 20% x Rp240.000.000,00 = Rp240.000,00
b. Atas bangunan = 0,5% x 20% x Rp179.500.000,00 = Rp179.500,00 (+)
Jumlah pajak yang terhutang = Rp419.500,00

BAB VI
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT

YANG MENENTUKAN PAJAK TERHUTANG

Pasal 8 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat pajak yang terhutang :
a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b. untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II;
yang meliputi letak objek pajak.

Penjelasan Pasal 8

Ayat (1)

Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Ayat (2)

Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terhutang.

Contoh :

a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa tanah dan bangunan.

Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajak yang terhutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar.

b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya.

Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terhutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 1986.

Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 1987.

Ayat (3)

Tempat pajak yang terhutang untuk Kotamadya Batam, di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

BAB VII
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK,

SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG,

DAN SURAT KETETAPAN PAJAK

Pasal 9 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh subjek pajak.
(3) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 9

Ayat (1)

Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak akan diberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan jelas, benar, dan lengkap adalah :

Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.

Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
(3) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
(4) Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.

Penjelasan Pasal 10

Ayat (1)

Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.

Ayat (2)

Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).

Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung atas dasar Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).

Ayat (3)

Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak.

Surat Ketetapan Pajak ini, berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.

Contoh :

Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.

Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKP yang berisi :

Objek Pajak dengan luas dan nilai jual
luas Objek Pajak menurut SPOP
pokok pajak = Rp1.000.000,00
Sanksi administrasi = 25% x Rp1.000.000,00 = Rp   250.000,00
Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp1.250.000,00

Ayat (4)

Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terhutang dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.

Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT = Rp1.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang seharusnya terhutang dalam SKP = Rp1.500.000,00
Selisih = Rp   500.000,00
Denda administrasi 25% x Rp500.000,00 = Rp   125.000,00
Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp   625.000,00
Adapun jumlah pajak yang terhutang sebesar = Rp1.000.000,00

Jumlah yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya dilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tersebut.

BAB VIII
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Pasal 11 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
(2) Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
(3) Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terhutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(6) Tata Cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 11

Ayat (1)

Contoh:

Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986.

Ayat (2)

Contoh:

Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986.

Ayat (3)

Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Contoh :

SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni: 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.

Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah:

Pokok pajak + denda administrasi =

Rp100.000,00 + Rp2.000,00 = Rp102.000,00

Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni 4% x Rp100.000,00 = Rp4.000,00

Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah:

Pokok pajak + denda administrasi =

Rp100.000,00 + Rp4.000,00 = Rp104.000,00

Ayat (4)

Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan ayat (3), ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 12 (UU No. 12 Tahun 1985)

Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak merupakan dasar penagihan pajak.

Penjelasan Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13 (UU No. 12 Tahun 1985)

Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

Penjelasan Pasal 13

Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

Pasal 14 (UU No. 12 Tahun 1985)

Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

Penjelasan Pasal 14

Pelimpahan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan objek pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan.

Dalam hal jumlah pajak yang terhutang sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tidak sesuai dengan objek pajak dilapangan, maka pemungut pajak tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak.

BAB IX
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 15 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
b. Surat Ketetapan Pajak.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
(5) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Penjelasan Pasal 15

Ayat (1)

Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan Surat Ketetapan Pajak harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup kepada wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya.

Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeure) maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 16 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Penjelasan Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Ketentuan ini mengharuskan wajib pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan terhadap ketetapan secara jabatan.

Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak.

Ayat (5)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.

Pasal 17 (UU No. 12 Tahun 1994)

Dihapus.

Penjelasan Pasal 17

Dengan dihapusnya Pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566).

BAB X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK

Pasal 18 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan.
(2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II.
(3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Karena penerimaan pajak ini diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II yang bersangkutan, maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II.

Ayat (3)

Cukup jelas.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
a. karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
b. dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(2) Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 19

Ayat (1)

huruf a

Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan sebab-sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan serta yang pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan.

huruf b

Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor.
Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti :
kebakaran;
kekeringan;
wabah penyakit tanaman;
hama tanaman.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 20 (UU No. 12 Tahun 1985)

Atas permintaan wajib pajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu.

Penjelasan Pasal 20

Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4) kepada Direktur Jenderal Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh denda administrasi dimaksud.

Pasal 21 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek pajak, wajib :
a. menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak;
b. memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berlaku pula bagi pejabat lain yang ada hubungannya dengan objek pajak.
(3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan Undang-undang ini.
(4) Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 21

Ayat (1)

Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek pajak adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Laporan tertulis tentang mutasi objek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan, harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak.

Ayat (2)

Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) misalnya antara lain :

Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 22 (UU No. 12 Tahun 1985)

Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 22

Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini ialah antara lain :

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.

Pasal 23 (UU No. 12 Tahun 1994)

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Penjelasan Pasal 23

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 24 (UU No. 12 Tahun 1985)

Barang siapa karena kealpaannya :

a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.

Penjelasan Pasal 24

Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.

Surat Pemberitahuan Objek Pajak harus dikembalikan/disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 25 (UU No. 12 Tahun 1985)

(1) Barang siapa dengan sengaja :
a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
d. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
e. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.
(2) Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

Penjelasan Pasal 25

Ayat (1)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja merupakan tindak pidana kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih berat.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan bukan wajib pajak dalam ayat ini yaitu pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak ataupun pihak lainnya.

Ayat (3)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 26 (UU No. 12 Tahun 1985)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 26

Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 27 (UU No. 12 Tahun 1994)

Dihapus.

Penjelasan Pasal 27

Dihapus.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28 (UU No. 12 Tahun 1985)

Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990.

Penjelasan Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 (UU No. 12 Tahun 1985)

Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Penjelasan Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30 (UU No. 12 Tahun 1985)

Terhadap objek pajak dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya, sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang masih berlaku.

Penjelasan Pasal 30

Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap objek pajak yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya yang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31 (UU No. 12 Tahun 1985)

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan Penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 31

Cukup jelas.

Catatan:

1. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Nomor 12 Tahun 1994.

(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan).

2. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

(sesuai dengan bunyi Pasal IV Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan).

Leave a comment